Yang berharap kau mengerti itu bahasa rinduku.
Seperti itulah caraku untuk menyentuhmu.
Atas nama waktu dan segala sesuatu yang berkaitan erat dengan rindu.
Ingin sekali kusapa dirimu.
Walau hanya dengan isyarat atau sajak rindu.
Kenangan..
Seperti sebuah cermin, yang didalamnya terdapat kamu.
Setiap kali ku berkaca, disitu terlihat ada kamu, selalu.
Setiap kali ku berkaca, disitu terlihat ada kamu, selalu.
Kamu pintar menyembunyikan bulan dimatamu.
Hingga membuat kelopak matamu terbuka.
Malam begitu benderang di matamu.
Dan aku senantiasa setia menatap matamu.
Dan aku senantiasa setia menatap matamu.
Saat ini sedianya akan kukisahkan padamu, tentang sepi yang agaknya mulai menggugurkan rindu.
Seperti daun-daun yang mulai menguning, yang perlahan berjatuhan satu perstu.
Hingga akhirnya pohon hanya berbatang, tanpa tertutupi rindangnya daun-daun
Terlihat gersang, tak terurus, mungkin tak bernyawa.
Terlihat gersang, tak terurus, mungkin tak bernyawa.
Aku merindukanmu seperti denyut jam.
Yang terlalu lambat menghampiri senja.
Pada dasarnya kamu tau bahwa aku selalu ingin berbincang, melepas sedikit penat dengan melihat senyum dan candamu.
Membuang -buang waktu bersamamu, atau sekiranya kita menghabiskan masa muda berdua.
Aku tidak mengerti, bagaimana cara Tuhan membuatku merasa kehilangan sesuatu yang sebelumnya pernah aku miliki.
Aku tengah sibuk mengemasi masa lalu.
Ketika tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kenanganku.
Ternyata rindu itu bilangan ganjil yang tak pernah habis dibagi dengan bilangan apapun.
Kecuali oleh bilangan pertemuan.
Jika cinta selalu membuat orang terlupa cara membasuh luka.
Mungkinkah senja juga lupa cara menenggelamkan dirinya.?