Semilir angin berputar diantara kelabu lusuh.
Dibalik jendela, masih di tatapnya gerimis mata dari anak itu.
Gerimis yang tertumpu apik di dalam lebam matanya.
Tunggu nak...
Tunggu, ucapnya.
Selendang bidadari pun memudar.
Tepat diujung langit yang tampak berkabut...
Laut pun membisu...
Dan gemercak ombak masih bersamar-samar di gulungan sunyi.
Tunggu nak...
Tunggu, katanya kembali.
Masih dia menunggu.
Duduk di pinggiran biduk-biduk.
Yang terbengkalai sepeninggalan empunya.
Dipandanginya anak tersebut.
Entah sampai kapan...
Dia pun melempar pandang ke batas langit.
Sabarlah nak...
Sabar, katanya lagi.
Tunggulah disini.
Gemerlap hujan bintang membiarkan ia mengendah.
Dibalik kelabu, di bagian sisi jagat raya terkesampingkan.
Mengharap sedikit pancaran bulan menyapa.
Pada kesunyain itu, dua kelopak matanya merekah.
Menandakan sebuah harapan tinggi akan takdirnya.
Bersabarlah nak...
Bersabar, katanya kembali.
Menunggulah ia...
Selembar sajak tentang angsa.
Tentang kabut.
Tentang pohon.
Tentang malam dan tentang ia yang menidurkannya.
Membunuh keresahan.
Membuka lipatan waktu yang terbuang.
Larut dalam tarian mimpi.
Malam pun kian meninggi.
Wajah rembulan mulai berkilau.
Pancarannya jatuh, menembus kelabu malam itu.
Semua menjadi bayangan.
Namun dia tetap terlelap pada tidurnya.
Berbantalkan butiran embun.
Dan sedikit bayang-bayang kelabu.
Kerinduan masih tergeletak diantara sajaknya.
Menunggulah ia...
Pada bayangan.
Dalam fatamorgana...
Tentang riuh...
Tentang canda seorang ibu.
Jauh di negeri awan.
Yang dia sendiri pun tak mengerti arahnya.
Dibalik jendela, masih di tatapnya gerimis mata dari anak itu.
Gerimis yang tertumpu apik di dalam lebam matanya.
Tunggu nak...
Tunggu, ucapnya.
Selendang bidadari pun memudar.
Tepat diujung langit yang tampak berkabut...
Laut pun membisu...
Dan gemercak ombak masih bersamar-samar di gulungan sunyi.
Tunggu nak...
Tunggu, katanya kembali.
Masih dia menunggu.
Duduk di pinggiran biduk-biduk.
Yang terbengkalai sepeninggalan empunya.
Dipandanginya anak tersebut.
Entah sampai kapan...
Dia pun melempar pandang ke batas langit.
Sabarlah nak...
Sabar, katanya lagi.
Tunggulah disini.
Gemerlap hujan bintang membiarkan ia mengendah.
Dibalik kelabu, di bagian sisi jagat raya terkesampingkan.
Mengharap sedikit pancaran bulan menyapa.
Pada kesunyain itu, dua kelopak matanya merekah.
Menandakan sebuah harapan tinggi akan takdirnya.
Bersabarlah nak...
Bersabar, katanya kembali.
Menunggulah ia...
Selembar sajak tentang angsa.
Tentang kabut.
Tentang pohon.
Tentang malam dan tentang ia yang menidurkannya.
Membunuh keresahan.
Membuka lipatan waktu yang terbuang.
Larut dalam tarian mimpi.
Malam pun kian meninggi.
Wajah rembulan mulai berkilau.
Pancarannya jatuh, menembus kelabu malam itu.
Semua menjadi bayangan.
Namun dia tetap terlelap pada tidurnya.
Berbantalkan butiran embun.
Dan sedikit bayang-bayang kelabu.
Kerinduan masih tergeletak diantara sajaknya.
Menunggulah ia...
Pada bayangan.
Dalam fatamorgana...
Tentang riuh...
Tentang canda seorang ibu.
Jauh di negeri awan.
Yang dia sendiri pun tak mengerti arahnya.
No comments:
Post a Comment