Wednesday, 15 May 2013

Diary For Love Edisi 7

Sejenak terfikir tuk lelap disisi bintang.
Dan bermimpi indah dalam pelukan rembulan.
Menjabarkan sebuah khayalan tentang aku dan kamu.

Aku selalu berambisi dan mengkaji tiap khayal ku.
Menuju hari-hari aku dengan kamu.
Berhiaskan warna-warna cinta.
Akan ku lukis nama kita dalam warna.

Namun ku terbangun.
Fakta membawa ku tetap dalam kesendirian.
Tanpa cinta.

Menari Dalam Gelombang


Matahari mulai menampakkan senyum.
Dan pagi pun bersiap untuk semakin cerah.
Siap tuk memulai tantangan hari ini.

Meski gelombang menerpa.
Jangan pernah berhenti tuk menari didalamnya.

Ketika jenuh dendam terasa.
Jangan pernah berhenti melaju.
Badai hanya sedikit tantangan.

Hidup memang tak seelok dalam fikiran.
Keras, kejam, kerap menghantui.

Rekalah awan diangkasa.
Raihlah, gasak sejuta bahagia.
Jangan pernah berhenti atau takut.
Teruslah menari dalam gelombang.

Pelacur Kota Lama


 Diujung jalan dia menanti.
Dengan pakaian dibawah selangka.
Berhias menor demi sedikit upah atas jasanya.

Dia melempar senyum dengan tatapan genit walau setengah hati.
Melambai rayu setiap pejalan kaki adam.


Hati kecilnya pun berkata…
Adakah hari tanpa seperti ini??
Adakan masa menikmati sisa hidup duniawi??

Matanya pun melebam.
Berkaca-kaca pada kehidupan.
Berharap keadilan atas dunianya pada Tuhan.

Diujung malam masih menunggu.
Dengan sedikit harapan untuk penyambung hidupnya.
Diantara dosa dan kenistaan.

Pojokkan taman kota lama itu menjadi saksi.
Dia duduk bersimpul.
Memohon segala ampun dan berharap mendapat kelapangan atas dosanya pada Tuhan.

Hati kecilnya mengis, meronta.
Berjalan tersiak gontai terisak.

Dia meneruskan jalannya menelusuri tiap sudut kota lama.
Dengan lemahnya dia menyusur dan melempar senyum.
Lalu hilang ditelan pagi buta…

Lakon Badut Tua




Senyum ku malam ini, adalah yang teriang.
Memulas ujung bibir teramat manis.

Binaran mata ku, lebar membelalak.
Lengkap sudah senyum ku di akhir periode ini.

Tanpa blush-on.
Pipi ku cukup sekal untuk mengisyaratkan senyum mahal.
Bibir ku tak perlu merah untuk sebuah pamor.

Pijaran cahaya bulan pasti menemani senyum renyah ku.
Aku kan selalu buat mu tersenyum bahagia.

Saat kau disisi ku.
Aku kan selalu menjadi orang yang membuat mu bisa melepaskan banyak senyum bahagia.
Aku kan menjadi orang yang menyenangkan.

Kamu harus bahagia.
Kamu bisa bahagia dan layak berbahagia.

Peran ku sangat luar biasa untuk sebuah lakon.
Bersyukur atas episode di akhir periode ini.
Rasa syukur terpanjat dengan berlalunya peran lakon ku.

Ku lemaskan otot-otot tegang tawa ku tadi.
Tersungkur aku disudut malam yang hitam.

Punggung mu tak lagi kudapati disana.
Bayang mu pun hilang bersama senyum sumringah mu.

Aku berhasil membahagiakan dan manguatkan mu lagi malam ini.
Pulanglah, Kembalilah pada hidup mu.
Kaki mu sekarang cukup kuat tuk memijak.

Celoteh mu sekarang banyak bercerita tentang esok yang benderang.
Aku akan selalu disini tuk menghibur mu dalam tawa.

Tiap kali kau hampiri aku.
Kau harus pulang dengan pijakan pasti.
Kau harus kuat untuk benderang esok hari.

Biarkan disini aku menghitam.
Dalam malam tanpa sinar bulan.
Berkeluh kasih pada sepi.
Berselimutkan resah.

Seperti saat ini.
Ku lemaskan rongga otot yang menegang.
Ku pijat tubuh tua ku sendiri.
Tanpa mu.

Aku tetap akan berperan menjadi badut.
Yang akan siap menghibur mu.
Terus dan selalu.
Aku kan selalu meninggikan mu, tanpa jeda.

Pesta Metafora


Pada dasarnya senja bukanlah hal yang istimewa.
Penyair kesepianlah yang binal.
Membuatnya bagai panggung perayaan.
Tempat segala rasa hatinya tumpah ruah diatasnya.

Penyair itu bernyanyi-nyanyi.
Bersama warna-warna dan pesta metafora.

Nanar Dalam Bias


Nanar nan tersamar yang selalu ada didekat ku.
Tersamar bias akan keangkuhan mu.
Melupakan kisah kasih yang terajut dalam benang sutra.
Terhempas bak bulu-bulu domba tak berguna.

Aku diasingkan dari pedalaman sisi hati mu.
Aku laksana hidup tanpa tuah.

Kini…
Tak lagi kan kuingat kisah tentang mu.
Ku lempar jauh kedalam sumur tak berujung.
Agar kau mengerti sakit yang tak berujung.

Aku bersama sejuta mahabbah dalam jiwa.
Yang kau tampar tajam.
Aku dengan sejuta kasih.
Yang kau buang semu.

Kini…
Akan kau dapati aku angkuh akan cambukkan mu.
Aku pun tegar dalam tajamnya bising mu.

Harap ku untuk kau mati dalam angkuh mu.
Untuk mu mati dalam ego mu.

Hingga tersadarkan kamu dalam nyata mu.
Tersadar bahwa aku sebagian dari kamu.

Nanar ku dalam bias.
Bias yang bahkan tak berujung dan pasti.

Diary For Love Edisi 6


Kini air mata ku jatuh dalam sebuah pengakuan.
Tentang kesedihan…
Tentang kepedihan...

Hening malam amat mengerikan.
Aku rapuh…

Tanpa siapa-siapa aku tidak menjadi apa-apa.
Bayangan dalam gelap itu memberontak.
Menyadarkan tentang hampanya, aku.

Logika


Berandai pada bulan yang bersenandung ria.
Dengan sang ufuk dalam kisahnya.

Tak mungkinkan jika malam itu gelap dan pagi itu cerah.
Tapi aku sadar.
Berandai itu tak layak dalam kadar kebaikan.

Mahabbah ku hanya berhamabbah, kata ku.
Aku sungguh takut akan cemburu pada mu ya robb.

Menengok sekilas lintas alur cerita mu semu.
Takkan mengubah garis hidup ku dan dunia ku, begitupun kamu ya robb.

Tersadarlah bahwa samudera itu luas.
Dan takkan pernah habis terkuras walau ku kuras.

Jika ku berfikir akan hidup ku.
Maka, tak akan ada tanya yang tak terjawab melalui akal ku.

Bahwa sesungguhnya robb mu itu maha sempurna.
Penghancur dan pencipta pada tempatnya.

Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya tiada robbi selain Allah.
Dialah Zat maha pencipta.
Entah itu abadi atau fana sementara.

Dialah robb yang patut disembah.
ALLAH SWT…

Warna



Senja tak selamanya merah atau pun jingga.
Tak selama berkilau cahaya emas dan gumawan.

Senja pernah berwarna coklat.
Karena biasnya terpantul  pada air bengawan solo.

Senja pernah hanya  biru.
Karena tatapnya.

Senja pernah hijau.
Karena mata ku tertumbuk pada padang rumput tak bertepi.

Senja pernah ungu.
Karena aku sedang tersendu pada rindu.

Senja ku selalu berwarna-warni.
Bergantung pada apa-apa yang membuat mata ku berdiam meringkuk merasakan nyaman.

Senandung Lara


Terduduk apik dalam bingkisan fakta.
Dimalam sunyi yang memenuhi hati sepi.
Semakin meleburkan rasa pedih dijiwa ini.
Ditiap ku kenang cinta yang usang.

Luka semakin menjadi luka.
Luka ku pun semakin menjadi duka meradang.
Yang tiada pernah menyentuh kilau bintang.

Kilau bintang dan pijaran bulan pun tiada tersenyum kembali.
Yang semakin meredupkan aku dalam duka.

Senandung lara cinta…
Yang berselimut duka…

Mengisyaratkan hujan.
Dan akan semakin deras dalam sedu sedan.

Saturday, 11 May 2013

Diary For Love Edisi 5


Malam ini tak seindah biasanya.
Jangkrik pun tak lagi bernyanyi.
Isukan sunyi bercambuk cekam.
Lirih pedih riuhkan hati.

Sendiri ku termakan kehampaan mendalam.
Tak tersimak apa-apa.

Aku diam, diam segudang bahasa.

Layar Sulam


Tak sekalipun ku duga bahwa dia ada.
Diluar imajinasi yang paling gila.
Adalah kuasa mu dia menyapa.
Berpeluk jatuh dalam laut cinta.

Waktu malam retina ini terpejam.
Ku terjelembab di kubang sesal.
Ku rajai segala apa apa yang hitam.

Aku merangkak, mendekati kepada penguasa ajal.                                                        
Aku serupa cacing pemimpi.
Terselip disela sela jari babi.
Merambat terbujur himpitan lumpur.

Inikah materi liang lahat??

Obsesi sasar senangkan diri.
Realitas blenggu dunia birahi.
Kata maaf meluncur kepada mu sang penguasa hati.
Juga untuk para penghuninya.
Penghuni cantik dalam tikungan hari.

Upah sujud dari yang maha pemberi.
Kami ini tamu negeri suci, bertamu setelah sunyi.

Tapi, adakah serambi sesempit ini??
Atau justru pelabuhan perahu terberkahi??

Layar ini tertambal sulam.
Dan kau terus terkembang menembus malam.
Dihempas gelombang timur barat.

Layar sulam ini…
Melaju kuat dan melesat.

Lovely My Love


Ku langkahkan kaki menyusuri jalan setapak yang kian menyempit.
Diantara kegelisahan zaman dan dikelilingi topeng kemunafikan.
Berharap sedianya akan ada aluran tangan tulus meraih ku.
Sedianya membawa ku ke taman kebahagiaan.

Tertatih,letih nan terkutuk yang menggerayangi langkah ku.
Terhampar ku pasrah pada keadaan.

Hingga akhirnya kau ada tanpa diada-ada.
Kau layangkan tamparan telak dikening ku.
Kau pun tersenyum lirih.
Menyiratkan pesan perdamaian.

Rasa ku terbuka.
Bangkit dari kekosongan dan keluh kesah.
Ku tersadar bahwa ada sinar dalam gelap.

Masih tersisa kesetiaan dalam pekatnya kabut fajar.
Masih ada sehelai cinta yang dapat ku rajut, lagi.

Kau adalah jawaban atas pencarian ku.
Yang sanggup memupuk dan menyirami hati yang gersang.

Kau adalah batas perjalanan di segala penjuru ku.
Yang mampu menuntun ku dalam sisa hidup dengan islami.

Layar Bioskop


Senja, terkadang hanya setampilan layar bioskop.
Tempat dimana aku betah duduk di berandanya.
Menatapi matahari bundar meghilang.
Diantara sayatan jingga dan gemawannya.

Aku tetap saja terduduk.
Menghabiskan banyak waktu.
Sampai kemudian…
Pohon angsana didepan rumah tak lagi memiliki bayang petang.

Thursday, 9 May 2013

Samudra Amarah


Lelah ku terasa di jemari yang terlalu dalam menggali.
Menggali  tuk menemukan mu yang terkubur karena pisau kata mu.

Kini ku hanya bisa berdiam.
Menahan tusukan pisau kata mu.

Sungai air mata kini telah mengering.
Habis mengalir ke samudra amarah.
Yang bahkan tak terukur kedalamannya.

Tingginya tiang sabar, tak cukup tuk mengukur kedalaman samudra.
Hingga akhirnya ku paksakan tuk menyelaminya.

Aku terhisap masuk ke dasar samudra.
Aku hilang…
Aku hilang bersama luka tusukan pisau kata mu.

Secangkir Kopi Belati


Berasa pahit di bibir, secangkir kopi.
Meredamkan raba rasa lidah.

Pahit asam kau disana, panas.
Membakar semua nadi dan darah.
Pahit, hitam, panas membelalakan mata.

Belati tertusuk diatas meja takdir.
Berkilat, menyilaukan mata.
Tajam mengiris sanubari, dingin membeku.

Sayatkan saja pada tubuh serupa boneka.
Sampai merahnya bercucuran mewarnai seujung jari.

Aku tak akan memilih.
Jiwa, raga, roh ditikam kematian.

Ku tikamkan belati pada cangkir kopi.
Cangkir terpecah belah.
Beling-beling cangkir meronta tak rela tertikam.

Menyayat luka itu seperti sembilu, sakit.
Ketika sakit, doa itu pun terlepas penuh nyali.

Biarkan tumpah darah itu pada tanah.
Pahit tersayat itu seperti malam, hening.

Diary For Love Edisi 4

Detik demi detik berlalu.
Lonteng pun berbunyi dan semakin menyaring.
Otak pun serasa dihujam dengan pernyataan.

Entah mengapa cinta mu pancarkan kesakitan.
Dan resah gelisah mu menyentuh relung batin ku.

Kini terciptalah pedih yang beranjak perih.
Jantung ini pun berasa menyakitkan.

Maaf atas tertuah aku dan kamu.

Aku bersaksi dihadapan tuhan.
Aku mencintai mu...

Sunday, 5 May 2013

Diary For Love Edisi 3

Lelah ku adalah lelah ku, tanpa mu jua.
Sepi ku adalah sepi ku, tanpa mu jua.
Sendiri ku adalah sendiri ku, tanpa mu jua.

Aku letih tuk hidup dalam harapan.
Aku letih tuk selalu berusaha menjadi yang terbaik.

Aku pernah merasakan terbang.
Dan membawa mu dalam aku.
Menikmati nirwana bersama.

Tapi semua hanya tinggal kenangan.
Bahkan burung-burung pun menangis dalam kesendirian.

Tanya Senja Penyair

Selalu saja berulang pertanyaan.
Yang sering terlontar dari para penyair.
Tentang warna senja!!

Manakah yang lebih merah.
Luka pada hatinya atau sayatan merah yang membelah langit ilir barat??

Raja Andromeda


Teduh ini ku resapi dalam bait suci.
Sejuk meniup kedalam diri.
Kalimat surga rahasia kalam.
Sendu ku dengar disela malam.


Aku ditimang menuju galaksi.

Didalam bentang luas angkara bima sakti.
Dunia hanya wujud kecil inti.
Jauh sama sekali tak bertepi.


Hati ini menuju alam semesta lewat doa.

Didalam orbit kasih dan cinta.
Melalui lintasan suara genderang nada.
Sebuah sunatullah belahan jiwa.


Kau membawa ku jauh hingga kesini.

Mensyukuri lambungkan segala puji.


Kagum ku semalam tadi, keberhasilan mu mencium hati.

Ya jabbar, ridho mu...
Bersamanya...
Raja Andromeda.

Diary For Love Edisi 2

Saat ku buka kedua kelopak mata di pagi ini.
Seketika embun pagi menyekat dan menenangkan hati yang sedang kacau.
Nyayian burung-burung pun segera merasuk hingga kedalam telinga.

Aku duduk manis berhadapan dengan mentari.
Tercipta senyum didalam ruang bernama hampa.
Termenung ku sadar dalam kesendirian ini, tanpa apa-apa.

Aku menjajakai kaki satapak demi setapak beranjak.
Meninggalkan mentari.
Menuju tidur setelah lelah dalam ketidak pastian.

Pelacur dan Dinding Bisu

Malam ini tubuhnya sudah laku.
Sekali lagi dia berhasil membuat lunglai yang kaku.
Berpaling tubuhnya dari malam yang beku.

Malam ini dia sangat merindukan mu.
Dibuangnya lembaran rupiah dari mereka yang menikmati tubuhnya.

Sekali lagi dia meludahi mereka ketika berpeluh.
Hanya tiap malam dia lacurkan tubuhnya.

Dia merindu mu dalam tubuh gemetarnya.
Disudut itu kamu selalu setia menunggunya.
Diam tak bernyawa, membuatnya hidup.

Pada mu disandarkan tubuh tabunya.
Penantiannya tak pernah terhitung, dia terhirup.

Dia menikahi mu tanpa jemu dan ragu.
Menelanjangi tubuhnya untuk mereka.
Memasung noda dalam tubuhnya yang malu.

Dia menikahi dinding bisu.
Tempat memulangan air mata.

Tindak Tanduk Senja

Saat senja berkilauan cahaya emas menyapa mu.
Mendekap mu hangat dalam syahdu.

Adakah kau sadari kuasa Tuhan??
Akankah kau mensyukuri karunia Tuhan??

Saat hembusan angin menyisir seluruh tubuh.
Menawarkan kesejukan pada gersangnya pori-pori mu.

Adakah kau sadar hidup hanya sebuah persinggahan??
Apakah kau berusaha meraih kebahagiaan sejati??

Saat senja semakin kabur.
Menghilangkan dari tatapan semakin mabur.
Mengiringi tiap langkah yang semakin terbenam.

Terfikirkah oleh mu tuk membasuh wajah kusut mu??
Berniatkah kamu tuk bersujud simpul dan berdoa pada Tuhan??

Renungkanlah...
Rangkum kembali tutur kata mu yang telah terucap.
Atas tindak tanduk tergerak.
Demi pijak gerak hari esok yang kian pasti.

Syair Sang Penyair

Setiap indahnya kata terus dilantunkan mesra oleh dia, penyair.
Setiap katanya membawa kaum pada dilema.
Mengingatkan pada kisah, kasih dan cinta.

Penyair kan mati ketika sajaknya hanya sebongkah sampah.
Sewaktu mahkota dikepalanya tumpah ruah berserakan.

Dengan semua keakuan diatas logika membumi.
Kata-kata itu berasal dati tanah, air dan udara, tuan.

Sajak penyair pun mati tanpa doa para peziarahnya.
Hanya buih kata keakuan yang bersanding pada nisan kubur mu.
Penyair itu mati ketika apa yang didapat dari bumi kau ingkari.

Perut bumi itu semua hanyalah sajak.
Bukan isi kepala penyair.

Penyair itu dibunuh sajaknya sendiri.
Ketika penyair mengangkangi bisik tanyaan anak alam.
Penyair itu mati tanpa ratusan ribu kata, tak satu pun.

Penyair mati karena sajak yang mengukuhkan dirinya sebagai penyair.
Tanpa memijak bumi...